PAGI belum lagi sempurna menyemburatkan sinar matahari yang terbiasa menyapa bumi. Begitupun dengan bulir-bulir embun, meski beberapa ada yang telah pecah tersentuh udara yang sesekali menderas, namun banyak juga yang masih menempel di ujung dedaunan dan pucuk-pucuk rerumputan di sekitar jalanku. Tak ingin rasanya aku mengusik ketenteraman mereka, yang nampak khusyuk menunggu kerdipan fajar menyambut hari.
Hanya nafasku saja yang berhembus datar dan tenang. Sementara langkah telah kuhentikan, persis pada saat sorot mataku menangkap tingkah seekor kunang-kunang kesasar, yang nampak sangat bingung mencari kawanan habitatnya. Kerlap-kerlip cahaya di tubuhnya yang mulai melemah, seperti menyirat keputusasaan dirinya dalam mengenali jejak peredarannya semalam. Sebelum kemudian memasrahkan diri, menepi di sisi waktu yang bukan menjadi peraduannya.
Betapa letih terlihat sayapnya mengepak lemah dan terkesan lunglai. Hingga terbersit di benakku tentang nafasnya yang mungkin pula telah terengah. Dengan gerakan yang sangat perlahan, aku pun tergerak untuk mendekati kunang-kunang malang, yang terpisah dari kumpulan insekta penziarah kegelapan tersebut. Lalu dalam beberapa menit berselang, tibalah kini aku berdekatan dengan tubuhnya yang sudah betul-betul lunglai.
Aku hanya sanggup membuang desah di dalam dadaku sendiri, sewaktu mendapati sayapnya yang ujung-ujungnya sudah banyak bekas terbakar. Separuh lebih dari kujur badannya juga nampak melepuh. Sementara sinarnya yang sedari tadi berkelip melemah, kini hanya sesekali saja mengeluarkan cahaya. Begitu redup dan nyaris seperti dipaksakan.
"Hai... pejalan sunyi yang meretas gelap malam, tahukah kau apa yang sedang terjadi di seberang savana negeri ini?" tanya kunang-kunang lewat suaranya yang bergetar dan terbata.
Aku hanya bisa menggeleng perlahan sebagai isyarat dari kesedihanku, manakala melihat keberadaannya yang sebegitu mengenaskan. Tapi anehnya, kunang-kunang malang bersayap bersayap koyak itu, malah nampak mengarahkan senyumnya yang sedemikian lembut dan menawan, sehingga membuat seluruh pesona jiwaku seketika menjadi luruh.
"Kenapa kau malah memandangku dengan senyum yang membuatku jadi bingung tak menentu?" tanyaku keki, sembari menata suasana hati yang kian dilanda kegundahan.
"Bukan apa-apa, tuan pelipur senyap. Aku hanya ingin menyampaikan padamu suatu peristiwa berdarah, yang sejak petang kemarin digelar manusia atas nama Tuhan dan cinta. Kuharap dirimu sudi mendengar tanpa harus menyela. Kondisi tubuhku saat ini sedang tak sanggup untuk diajak menguras pikiran secara berlebih. Karena itulah, kau harus menyimaknya secara serius!" pinta kunang-kunang itu tegas, di antara sengal nafasnya yang saling berbenturan dengan angin dingin di sekitar kami berada.
Sebentar saja kunang-kunang tua berbalut derita itu memulai kisah yang berhasil direkamnya dalam ingatan. Sedang aku, seperti yang dia pinta, hanya diam menyimak ringkasan peristiwa dari kisahnya.
"Saudaraku... semalaman tadi aku berjuang sendiri. Meredam amarah sekumpulan manusia yang sangat memuja Tuhan mereka. Mereka juga begitu tulus dalam mengagungkan cinta terhadap sesama. Tapi petang itu, semua tiba-tiba menjadi kalaf dan gelap mata. Mereka terpecah dari kesahajaannya. Mereka terberai karena nalar yang mereka cuatkan hingga melampaui eksistensi Tuhan yang disembah, bahkan melebihi batas ketulusan mereka dalam menjiwai kelembutan cinta. Mereka kini telah hidup dalam unikum-unikum kecil. Meyakini Tuhan yang sama dengan paham dan doktrin yang sebetulnya juga sama, tapi mereka sibuk membenturkan perbedaan sudut pandang dari suatu pemikiran yang sangat sepele!" paparnya sambil meringis lirih, lantaran harus meredam perih di sekujur badannya.
"Kemurnian syari'at yang sejatinya sudah final dalam tuntunan al-Qur'an dan Hadits, mereka eksploitasi berdasarkan tafsir yang mengarah pada pertentangan. Masing-masing kepala yang mengakomodir unikum-unikum kecil tersebut, sibuk mempertahankan kebenaran dengan dalil-dalil yang diusung sebagai tameng pembenaran terhadap hakikat keyakinan, yang dijunjung tinggi hanya demi membela kebesaran Tuhan. Apakah Tuhan itu memang butuh pembelaan? Entahlah... Aku sendiri tak bisa menjangkau nalar manusia semacam ini, yang katanya beriman tapi malah menebar bencana bagi ketenangan sesama!" rutuk kunang-kunang kemudian, sembari menghela nafasnya yang nampak sudah tidak beraturan lagi.
"Bencana kemungkaran itu menjadi sempurna saat malam mempertegas gelap, segelap jiwa-jiwa manusia yang mengarak kesucian cinta hingga berkeliling mengitari lembah hati beraroma kebencian. Yah... aku baru tersadar kini, bahwa cinta yang dinobatkan manusia sebagai penuntun batin mereka, rupanya telah menghipnotis sukma mereka untuk membenci orang-orang yang berseberangan dengan kata hati mereka sendiri. Pertempuran batin yang semula hanya bergulat di dalam pikiran dan kalbu mereka pun, dalam sekejap telah memadamkan cahaya kelembutan kasih sayang yang dulu bersinar cerah di kedalaman singgasana nurani mereka yang tenteram. Lalu dalam sejurus kemudian, dengan tanpa bimbang dan ngeri sedikit pun mereka saling memburu satu sama lain, juga atas dasar cinta yang mereka koarkan dalam pemahaman yang berbeda. Kondisi itulah yang selanjutnya membuatku terciprat bersama kobaran nafsu yang diam-diam telah melahirkan pertempuran yang begitu nyata kedahsyatannya!" tandas kunang-kunang itu dengan getaran nafasnya yang serasa tersekat di kerongkongan.
"Tahukah kau apa yang terjadi setelah kelembutan mereka berubah menjadi amarah, saudaraku?" tanyanya setelah beberapa detik nafasnya kembali terpompa meski tetap saja tersengal. "Masing-masing di antara mereka saling menikam, membunuh dengan cara-cara yang juga mereka anggap syah dan wajar. Bahkan beberapa di antara mereka pula ada yang dengan terang-terangan menggotong kepala saudaranya sendiri berkeliling kampung, seolah memberi peringatan pada yang lainnya bahwa mereka telah memenangkan pertempuran yang diklaim sebagai jihad terhadap Tuhan, sekaligus demi mempertahankan kaidah cinta yang dipandang paling sakral bagi kelompok mereka. Karena tak tahan menyaksikan kekejaman yang berlangsung tanpa keseimbangan itulah, akhirnya aku mengungsi ke tempat ini hanya untuk menenteramkan batinku yang juga tengah terluka. Tapi nyatanya, aku tersesat dari bayangan saudara-saudaraku sendiri, yang lenyap tanpa selintas isyarat di mataku!" ucapnya lirih, sambil menitikkan air kesedihan dari kelopak matanya yang membiru.
Cukup lama dia terdiam di tengah keheningan yang membuatku tercenung. Sekelebat kemudian, sewaktu pancaran matahari mulai menerpa tubuh, barulah aku sadar bahwa kunang-kunang itu telah menutup seluruh kisah dukanya yang sampai ke hatiku. Terlepas dari lamunan kisah tragis yang baru saja mengusik kalbuku, dengan ekor mata yang sayu membiaskan rasa haru, segera kutatap tubuh seekor kunang-kunang malang yang kesasar dari kumpulannya itu. Tak ada tanda-tanda geliatan sedikit pun yang dia perlihatkan.
Kini aku benar-benar yakin, bahwa penyaksi sejarah kebrutalan itu telah mati kaku, bersamaan dengan onggokan tubuhnya yang juga sudah terbakar sinar matahari. Hanya diriku kini yang tetap bimbang menakar hati, yang berada antara keinginan meneruskan langkah untuk mendamaikan suasana ataukah berdiam diri dan terpaku menjadi pendengar kisah yang setia.
~ * ~
Malang, April 2007
Gus Asral, saudaraku
BalasHapusSungguh menakjubkan, rangkaian aksaramu
aku sangat menikmatinya saudaraku
:)
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus