Selasa, 30 Agustus 2011

SENGKETA CINTA

keriangan kita yang hilang
entah kenapa, aku ingin mencarinya kembali.
tapi kelembutan matamu yang memudar
menghapus jejak pencarianku di tapal prahara.

sengketa cinta kita yang tak pernah ingin berdamai
bahkan dengan perasaan sendiri pun,
setiap malam menjelma ilusi di ladang-ladang pertempuran
          yang setiap detik membunuh naluri kemesraan!

tak ada lagi jalan pulang yang ramah dan mesra
bagi langkah percintaan musim dan hari-hari.
sebab gemuruh amarah dalam dadamu sama egonya
dengan kemelut batinku yang ditikam cemburu...

Agustus 2010


DERMAGA RINDU

"masih mungkinkah aku mengembara
ke tengah musim yang limbung
menafsirkan sejarah risalah hati?
laut yang bergemuruh di dadaku,
seakan hendak melumat dermaga rindu
yang selama ini kujaga."

Asral Sahara, Juli  2010

SENYAP YANG BERNYANYI

Kidung apakah yang paling merdu
kala subuh menjelang?
Itulah kidung senyap yang bernyanyi
di antara serdadu embun berselimut dingin!

Diundangnya percikan fajar yang melenggang di timur,
saat kaki-kaki perempuan perkasa bergegas menyapu jalanan.
"Aku tak pernah berharap belas kasih,
sekalipun pada malaikat pribumi yang paling suci!" katanya
Tapi ayunkanlah tangan kekarmu hingga ke ujung aspal,
sebab di situlah penguasa semesta menancapkan nasib kita.

Dan ketika daun-daun gugur dalam tikaman cahaya,
barulah engkau ingat bahwa tuhan selalu berjaga.
Menuntun takdirmu hingga ke tepian masa,
di mana engkau hanya diam dalam hiba...

Agustus 2010


"MALAM KETIGA DI HARI KEDUA"

ya Habib... Kuatkan hatiku dalam iman agar sampai hajatku mencium wangi firdaus yang Kau lekatkan di dinding waktu.

Sebab malam ini, aku tak lagi bisa melukiskan betapa berharganya nafas hidup yang telah Kau tiupkan hingga ke bilik-bilik mimpi orang-orang yang mengagungkan-Mu. Yang kubisa, mungkin hanya meratapi diri dalam diam, di tengah hening karena merenungi hakikat keKuasaan-Mu.

ya Izzati... Lengkapilah kesepianku ini dengan pesona Kasih-Mu, meski sebatas isyarat kerdip bintang yang mulai memudar...

Agustus 2010

RUMAH HIDAYAH

ya Rabb.... Seandainya aku harus memilih seribu istana gemerlap di bumi, sungguh, aku lebih baik memilih Rumah-Mu yang penuh hidayah. ...Tapi apa sanggup diriku menuju ke sana? Jalan di duniaku yang begitu kelam dan berlumpur, seakan membuat kakiku serasa enggan tuk melangkah pada ridho-Mu.

ya Rahim.... Jika Kau mentakdirkan aku kelak tiba di rumah-Mu itu, aku ingin setelah pulang dari sana Kau tetap membimbingku. Tuntunlah setiap jengkal sketsa amarahku dalam Kesabaran-Mu, setiap detak sinyal kemungkaranku dengan Kasih Sayang-Mu, dan setiap lembar catatan hasutku pada sesama lewat Ampuan-Mu.

Ya Shohibul Baitullah.... Ijinkan aku mencium aroma syurga itu di rumah-Mu, meski hanya sebatas kenangan dalam bathinku!

Agustus 2010


SAMPAI MALAM MENJELANG

"sampai malam menjelang...
di sudut manakah ketenteraman menjelma?
aku mencari, tapi jejak pencarianku menghilang dalam gelap!
kelam di mana-mana hingga membuat langkah makin gelisah..."

(Imran AS., Agustus '10)

TARIAN SUNYI

"zona apakah yang tengah kunaungi ini?
bintang-bintang menghilang...
malam yang tiba-tiba gaduh oleh dentum gempita di langit.
bising di mana-nama, seperti dengkur para dewa
yang terlelap melalap angkasa.
aku bosan,
tapi kebosananku hanyalah tarian sunyi
yang tak mampu menghibur duka para bidadari semesta..."

(Imran AS., Juli '10)

ATLANTIS DI TENGAH MISTERI DAN REALITA

“Misteri itu kuasa Illahi…
Pikiran manusialah yg kemudian membuat ia menjadi takhayul maupun realita.
Jika kita percaya pada takhayul dan membiakkannya ke dalam mithos,
maka tidak mustahil ia akan menjelma kegaiban yang disembah-sembah,
bahkan melebihi kekuasaan Sang Perengkuh Misteri itu sendiri.
Tapi jika memandang mistieri sebagai realita yang sesungguhnya permanen,
maka misteri pun akan lenyap dan membangkitkan arwah kegelisahan hati
yang diam-diam menjelma intuisi, tafsir serta paradigma kebenaran
terhadap sesuatu yang absurd, mengambang, bahkan temporer…
Lalu apa bedanya misteri dan realita bagi sebuah Atlantis yang selama ini
menggucang risalah dari hakikat yang digembar-gemborkan
oleh para pelegenda kepada anak cucunya sepanjang zaman?”

(Imran AS., Juli '10)

Rabu, 10 Agustus 2011

DALAM JAMAH JARIMU

semalaman aku berdiri mematung
menunggu gairah melaju di tepi jalan.
pada sebentuk bulan sabit,
kubayangkan hasrat bergelora asmara.

rontanya yang binal menggauli sepi,
kutangkap sebagai isyarat dekap
begitu erat dikucup udara.

mata yang tambur ini,
bagaimana bisa menjamah tubuh sintal
yang menggeliat minta dicumbu?
ah... kudukku kaku dalam jamah jarimu!

Surabaya, Mei 2011
[Dicukil dari "Lorong tak Berujung", by: Asral Sahara]

 

"...seperti katamu, hanya hasrat yang perlu diwaspadai...!"

BUMI YANG DISUCIKAN


    PAGI belum lagi sempurna menyemburatkan sinar matahari yang terbiasa menyapa bumi. Begitupun dengan bulir-bulir embun, meski beberapa ada yang telah pecah tersentuh udara yang sesekali menderas, namun banyak juga yang masih menempel di ujung dedaunan dan pucuk-pucuk rerumputan di sekitar jalanku. Tak ingin rasanya aku mengusik ketenteraman mereka, yang nampak khusyuk menunggu kerdipan fajar menyambut hari.
       Hanya nafasku saja yang berhembus datar dan tenang. Sementara langkah telah kuhentikan, persis pada saat sorot mataku menangkap tingkah seekor kunang-kunang kesasar, yang nampak sangat bingung mencari kawanan habitatnya. Kerlap-kerlip cahaya di tubuhnya yang mulai melemah, seperti menyirat keputusasaan dirinya dalam mengenali jejak peredarannya semalam. Sebelum kemudian memasrahkan diri, menepi di sisi waktu yang bukan menjadi peraduannya.
       Betapa letih terlihat sayapnya mengepak lemah dan terkesan lunglai. Hingga terbersit di benakku tentang nafasnya yang mungkin pula telah terengah. Dengan gerakan yang sangat perlahan, aku pun tergerak untuk mendekati kunang-kunang malang, yang terpisah dari kumpulan insekta penziarah kegelapan tersebut. Lalu dalam beberapa menit berselang, tibalah kini aku berdekatan dengan tubuhnya yang sudah betul-betul lunglai.
       Aku hanya sanggup membuang desah di dalam dadaku sendiri, sewaktu mendapati sayapnya yang ujung-ujungnya sudah banyak bekas terbakar. Separuh lebih dari kujur badannya juga nampak melepuh. Sementara sinarnya yang sedari tadi berkelip melemah, kini hanya sesekali saja mengeluarkan cahaya. Begitu redup dan nyaris seperti dipaksakan.

       "Hai... pejalan sunyi yang meretas gelap malam, tahukah kau apa yang sedang terjadi di seberang savana negeri ini?" tanya kunang-kunang lewat suaranya yang bergetar dan terbata.

       Aku hanya bisa menggeleng perlahan sebagai isyarat dari kesedihanku, manakala melihat keberadaannya yang sebegitu mengenaskan. Tapi anehnya, kunang-kunang malang bersayap bersayap koyak itu, malah nampak mengarahkan senyumnya yang sedemikian lembut dan menawan, sehingga membuat seluruh pesona jiwaku seketika menjadi luruh.

       "Kenapa kau malah memandangku dengan senyum yang membuatku jadi bingung tak menentu?" tanyaku keki, sembari menata suasana hati yang kian dilanda kegundahan.
       "Bukan apa-apa, tuan pelipur senyap. Aku hanya ingin menyampaikan padamu suatu peristiwa berdarah, yang sejak petang kemarin digelar manusia atas nama Tuhan dan cinta. Kuharap dirimu sudi mendengar tanpa harus menyela. Kondisi tubuhku saat ini sedang tak sanggup untuk diajak menguras pikiran secara berlebih. Karena itulah, kau harus menyimaknya secara serius!" pinta kunang-kunang itu tegas, di antara sengal nafasnya yang saling berbenturan dengan angin dingin di sekitar kami berada.

       Sebentar saja kunang-kunang tua berbalut derita itu memulai kisah yang berhasil direkamnya dalam ingatan. Sedang aku, seperti yang dia pinta, hanya diam menyimak ringkasan peristiwa dari kisahnya.

       "Saudaraku... semalaman tadi aku berjuang sendiri. Meredam amarah sekumpulan manusia yang sangat memuja Tuhan mereka. Mereka juga begitu tulus dalam mengagungkan cinta terhadap sesama. Tapi petang itu, semua tiba-tiba menjadi kalaf dan gelap mata. Mereka terpecah dari kesahajaannya. Mereka terberai karena nalar yang mereka cuatkan hingga melampaui eksistensi Tuhan yang disembah, bahkan melebihi batas ketulusan mereka dalam menjiwai kelembutan cinta. Mereka kini telah hidup dalam unikum-unikum kecil. Meyakini Tuhan yang sama dengan paham dan doktrin yang sebetulnya juga sama, tapi mereka sibuk membenturkan perbedaan sudut pandang dari suatu pemikiran yang sangat sepele!" paparnya sambil meringis lirih, lantaran harus meredam perih di sekujur badannya.
       "Kemurnian syari'at yang sejatinya sudah final dalam tuntunan al-Qur'an dan Hadits, mereka eksploitasi berdasarkan tafsir yang mengarah pada pertentangan. Masing-masing kepala yang mengakomodir unikum-unikum kecil tersebut, sibuk mempertahankan kebenaran dengan dalil-dalil yang diusung sebagai tameng pembenaran terhadap hakikat keyakinan, yang dijunjung tinggi hanya demi membela kebesaran Tuhan. Apakah Tuhan itu memang butuh pembelaan? Entahlah... Aku sendiri tak bisa menjangkau nalar manusia semacam ini, yang katanya beriman tapi malah menebar bencana bagi ketenangan sesama!" rutuk kunang-kunang kemudian, sembari menghela nafasnya yang nampak sudah tidak beraturan lagi.
       "Bencana kemungkaran itu menjadi sempurna saat malam mempertegas gelap, segelap jiwa-jiwa manusia yang mengarak kesucian cinta hingga berkeliling mengitari lembah hati beraroma kebencian. Yah... aku baru tersadar kini, bahwa cinta yang dinobatkan manusia sebagai penuntun batin mereka, rupanya telah menghipnotis sukma mereka untuk membenci orang-orang yang berseberangan dengan kata hati mereka sendiri. Pertempuran batin yang semula hanya bergulat di dalam pikiran dan kalbu mereka pun, dalam sekejap telah memadamkan cahaya kelembutan kasih sayang yang dulu bersinar cerah di kedalaman singgasana nurani mereka yang tenteram. Lalu dalam sejurus kemudian, dengan tanpa bimbang dan ngeri sedikit pun mereka saling memburu satu sama lain, juga atas dasar cinta yang mereka koarkan dalam pemahaman yang berbeda. Kondisi itulah yang selanjutnya membuatku terciprat bersama kobaran nafsu yang diam-diam telah melahirkan pertempuran yang begitu nyata kedahsyatannya!" tandas kunang-kunang itu dengan getaran nafasnya yang serasa tersekat di kerongkongan.
       "Tahukah kau apa yang terjadi setelah kelembutan mereka berubah menjadi amarah, saudaraku?" tanyanya setelah beberapa detik nafasnya kembali terpompa meski tetap saja tersengal. "Masing-masing di antara mereka saling menikam, membunuh dengan cara-cara yang juga mereka anggap syah dan wajar. Bahkan beberapa di antara mereka pula ada yang dengan terang-terangan menggotong kepala saudaranya sendiri berkeliling kampung, seolah memberi peringatan pada yang lainnya bahwa mereka telah memenangkan pertempuran yang diklaim sebagai jihad terhadap Tuhan, sekaligus demi mempertahankan kaidah cinta yang dipandang paling sakral bagi kelompok mereka. Karena tak tahan menyaksikan kekejaman yang berlangsung tanpa keseimbangan itulah, akhirnya aku mengungsi ke tempat ini hanya untuk menenteramkan batinku yang juga tengah terluka. Tapi nyatanya, aku tersesat dari bayangan saudara-saudaraku sendiri, yang lenyap tanpa selintas isyarat di mataku!" ucapnya lirih, sambil menitikkan air kesedihan dari kelopak matanya yang membiru.

      Cukup lama dia terdiam di tengah keheningan yang membuatku tercenung. Sekelebat kemudian, sewaktu pancaran matahari mulai menerpa tubuh, barulah aku sadar bahwa kunang-kunang itu telah menutup seluruh kisah dukanya yang sampai ke hatiku. Terlepas dari lamunan kisah tragis yang baru saja mengusik kalbuku, dengan ekor mata yang sayu membiaskan rasa haru, segera kutatap tubuh seekor kunang-kunang malang yang kesasar dari kumpulannya itu. Tak ada tanda-tanda geliatan sedikit pun yang dia perlihatkan.
       Kini aku benar-benar yakin, bahwa penyaksi sejarah kebrutalan itu telah mati kaku, bersamaan dengan onggokan tubuhnya yang juga sudah terbakar sinar matahari. Hanya diriku kini yang tetap bimbang menakar hati, yang berada antara keinginan meneruskan langkah untuk mendamaikan suasana ataukah berdiam diri dan terpaku menjadi pendengar kisah yang setia.

                                                                      ~ * ~

Malang, April 2007